Dalam diam dan sunyi dini hari. Saat tubuh terbangun di antara bayang-bayang malam, dan bulan yang perlahan surut menuju ujung langit.
Di sela tarikan napas yang samar, kenangan bertahun-tahun lalu bergetar kembali. Malam-malam ketika aku mencari, menyelami ruang hening yang tidak memberi jawaban.
Aku yang dulu pernah menyembah kekosongan, berharap menemukan sesuatu di dalam kehampaan.
Di dini hari seperti ini, aku belajar membaca ulang jejak diri, mengurai yang pernah tersimpan rapat dalam diam dan sunyi.
Mungkin bulan akan segera pergi, tapi cahayanya selalu meninggalkan tanda, seperti ingatan yang tak pernah benar-benar hilang.
“When I was a child, the word God for me meant justice or freedom or love. How did it become a sword over my head, or a veil over my mind and face? — A Daughter of Isis, Nawal El Saadawi
Tulisan ini merupakan refleksi dari buku Memburu Muhammad karya Feby Indirani—sebuah buku yang menggugah dan mengaktifkan kembali caraku memandang agama sebagai jalan hidup.
Dalam kemasygulannya, Pramana tercenung menatap gulungan kanvas, krayon yang berserakan dan aroma khas cat minyak menguar di sekitarnya. Suara-suara bertanya “seperti apakah Tuhanmu?” terus mengusiknya. Berhari-hari ia hidup dalam bayang-bayang pertanyaan itu. Ia bingung menjelmakan sosok Tuhan.
Namun, tanpa ia sadari, Tuhan telah hadir dalam wujud seorang gadis pengemis berkaus lusuh yang mengais-ngais tong sampah mencari sisa makanan, seorang ibu paruh baya berkerudung yang mendorong gerobak dagangannya, lelaki pemulung muda yang memunguti gelas dan botol plastik, dan seekor anjing kampung kudisan yang mengendus-ngendus kakinya.
Tuhan tidak hanya hadir dalam bentuk yang sakral dan abstrak, tetapi juga dalam pengalaman hidup, dalam tubuh-tubuh yang berjuang melawan ketakadilan.
Kamu juga bisa melihat Tuhan pada angin sepoi-sepoi yang menenangkan pikiran yang gelisah dan sungai yang mengalir tanpa henti, memberi kehidupan bagi banyak orang.
Apakah pencarian spiritual kita selama ini terlalu terikat pada simbol-simbol yang jauh, sementara Tuhan justru hadir dalam kemanusiaan yang nyata?
Apakah pencarian Tuhan harus selalu bersifat mistis, atau justru bisa ditemukan dalam tindakan welas asih terhadap sesama?
Tubuh sehari-hari membawa luka sendiri, menstruasi yang tak boleh disebut, iklan-iklan menyulap darah menjadi biru, seakan tubuh ini bukan miliknya sendiri.
Keperawanan ditakar, menjadi harga dalam bisik-bisik, sementara kehilangan hanya ada pada perempuan. Janda adalah nestapa, duda adalah petualang.
Cinta dipuja sebagai nyala cahaya, tapi siapa yang menanggung beban tubuh? Senggama yang dipaksakan, kehamilan yang dipandang takdir, siapa yang sebenarnya terjebak dalam mitos yang bernama cinta?
Diajarkan bahwa laki-laki harus diutamakan, bahwa istri harus patuh, bahwa ibu bisa dikorbankan demi suami yang bahkan tak mencintainya. Ratna Manggali menyerahkan ibunya sendiri, bukan karena benci, tetapi karena patriarki yang menekan hingga sumsum.
Dulu Calon Arang dituduh perusak, kini perempuan berpengetahuan tetap dicurigai. Di setiap zaman, mereka yang melawan akan terus dibakar, jika bukan dengan api, dengan kata-kata.
Everyday the body carries its own wounds, menstruation that cannot be mentioned, advertisements conjure up blue blood, as if this body is not its own.
Virginity is measured, becomes a price in whispers, while loss is only for women.
Widows are miserable, widowers are adventurers.
Love is worshipped as a flame of light, but who bears the burden of the body?
Forced intercourse, pregnancy that is seen as destiny, who is actually trapped in the myth called love?
Taught that men must be prioritized, that wives must be obedient, that mothers can be sacrificed for husbands who do not even love them.
Ratna Manggali gave up her own mother, not because of hatred, but because of patriarchy that suppresses her to the marrow.
In the past Calon Arang was accused of being a destroyer, now women with knowledge are still suspected.
In every era, it is those who fight will continue to burn, if not by fire, with words.
Aku sering merasa berada di persimpangan dua dunia yang tampak bertolak belakang. Di satu sisi, peranku sebagai pengajar Al-Qur'an membentuk persepsi tertentu di mata masyarakat. Aku kerap dilihat sebagai sosok yang alim, religius, dan terikat pada norma-norma syar'i—dari cara berpakaian hingga cara bertutur. Namun, di sisi lain, dunia seni rupa yang kujalani justru menawarkan kebebasan berekspresi, eksperimentasi, dan interpretasi yang luas—sesuatu yang jauh dari stereotip seorang qoriah.
Dua dunia ini sering kali membuatku merasa harus "memilih" cara menampilkan diriku di hadapan orang lain, seolah keduanya tidak bisa berjalan beriringan. Realitas ini mengajakku untuk merenung: bagaimana aku bisa menempatkan diriku dengan percaya diri di antara dua dunia yang berbeda ini? Bagaimana aku dapat mengintegrasikan keduanya tanpa harus mengorbankan salah satunya?
Sebagai qoriah, aku sering dianggap sebagai representasi moralitas dalam komunitas. Persepsi ini membuat masyarakat cenderung mengawasi penampilanku dengan harapan agar aku senantiasa mematuhi standar tertentu. Namun, di sisi lain, seni rupa—yang juga menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupku—menawarkan kebebasan dan ruang ekspresi yang lebih cair. Dalam seni, aku menemukan cara untuk menyalurkan keresahan, kegelisahan, bahkan ide-ide yang mungkin tidak selalu bisa kusampaikan melalui peranku sebagai qoriah. Dunia seni membuka mataku pada berbagai perspektif baru, yang terkadang membuatku mempertanyakan batasan-batasan yang selama ini melekat pada diriku.
Aku ingin menjadi qoriah yang tetap membawa pesan spiritualitas, sekaligus menjadi seniman yang bebas berekspresi tanpa merasa terbelenggu oleh ekspektasi tertentu. Aku ingin menemukan cara untuk menyelaraskan kedua peran ini, sehingga bukan hanya saling melengkapi, tetapi juga menjadi sumber kekuatan yang memberdayakan—bagi diriku sendiri maupun bagi orang-orang di sekitarku.
Ketika akhir dari gelisah adalah menyerah, dan pasrah menjelma menjadi sisa dari harapan yang nyaris musnah.
Di dalam kegelisahan yang nyaris menggilakan, aku mencari jalan keluar dari proses menyembah kekosongan. Memasrahkan diri pada dunia yang penuh ragu, ikut-ikutan menjadi bagian dari orang-orang yang beriktikad menuju hakikat Tuhan.
Namun, apakah benar aku sedang menuju hakikat? Atau hanya mengikuti parade wajah-wajah yang tersenyum? Tetapi, apakah ini ikhlas, atau hanya topeng lain yang kubuat sendiri?
Merasa telah menemukan jalan, padahal mungkin aku hanya mengikuti arus, terjebak dalam ketakutan, dalam keinginan untuk terlihat tenang.
Apakah aku pasrah, atau hanya menyerah dalam kepura-puraan? Di dini hari ini, aku bertanya pada bayangan sendiri.
Audre Lorde, from "The Uses of Anger: Women Responding to Racism" (1981)
(Badut tidak sekadar penghibur di panggung sirkus atau pesta ulang tahun, tetapi sebagai simbol, sebagai metafora)
Badut, dalam ingatan banyak orang, adalah tawa yang meledak di antara permainan warna, wajah yang dilukis riang. Namun, badut bukan hanya peran dalam hiburan, melainkan topeng yang menutupi sesuatu yang lebih dalam. Ia adalah seseorang yang menyembunyikan identitasnya, mengubur sisi lain dari dirinya di balik riasan tebal dan senyum yang dipaksakan.
Seberapa banyak manusia menjalani hidup sebagai badut? Memainkan karakter yang diharapkan, bukan yang sebenarnya? Menjadi riang di luar, tetapi di dalamnya ada kekosongan, ada sunyi yang tak tersentuh?
Senyumnya sumringah, tawanya renyah terkadang terbahak. Padahal menyimpan duka dan luka yang mendalam.
Mari kita melihat lebih dalam, melampaui tawa yang terpampang, menembus lapisan-lapisan yang menutupi. Lihatlah kepedihan di balik warna-warninya.
Mungkin saja justru menemukan diri kita sendiri dalam senyumnya yang dipalsukan.
Karena setiap orang menyimpan badut dalam dirinya.
Dekonstruksi Mitologi "Calon Arang"
Toeti Heraty adalah seorang filsuf feminis Indonesia yang dalam karyanya Calon Arang mempertanyakan kembali narasi yang telah diwariskan dalam tradisi Jawa-Bali. Calon Arang dikenal sebagai Rangda, janda tua yang dituduh menguasai ilmu hitam, melawan Barong dalam pertunjukan sakral. Rangda melambangkan kekacauan dan energi destruktif, sementara Barong melambangkan keseimbangan dan perlindungan.
Namun, Toeti Heraty menantang narasi ini. Ia mempertanyakan, apakah perempuan seperti Calon Arang benar-benar perempuan jahat? Ataukah ia hanyalah perempuan yang ditindas karena menolak tunduk pada sistem patriarki yang mengekangnya?
Toeti membaca kisah Calon Arang bukan sebagai dongeng tentang penyihir jahat, melainkan sebagai kritik atas narasi misoginis dalam sejarah. Ia menunjukkan bagaimana perempuan yang berpengetahuan dan berdaya selalu dianggap sebagai ancaman dan berbahaya, baik dalam mitos kuno maupun realitas modern.
Toeti Heraty juga membongkar bagaimana tubuh perempuan dikonstruksi dalam masyarakat patriarkal. Pengalaman biologi perempuan, seperti menstruasi, kehamilan, kehilangan keperawanan dilihat sebagai sesuatu yang harus disembunyikan atau diatur sesuai norma sosial yang mengekang.
"Tubuh sehari-hari tiba membawa luka sendiri." Ia menggambarkan menstruasi sebagai luka yang disembunyikan, sebuah pengalaman biologis yang dibebani stigma. "Luka ini tersembunyi dan iklan-iklan gencar dalam upaya mulus menutupi." Kapitalisme pun ikut berperan, dengan iklan yang menampilkan menstruasi dalam bentuk cairan biru, seolah ingin menghapus jejak biologis perempuan.
Keperawanan pun sering kali menjadi standar moral bagi perempuan, sementara laki-laki tidak dikenai standar yang sama. Janda mengalami tekanan sosial yang berbeda dengan duda, mereka dianggap membawa sial atau tidak laku.
"Demikianlah persepsi bahwa perempuanlah kiranya perlu laki-laki daripada sebaliknya." Toeti Heraty menyoroti bahwa dalam banyak kisah, perempuan diposisikan sebagai sosok yang selalu membutuhkan laki-laki. Ini adalahnarasi yang terus direproduksi dalam mitos maupun kehidupan nyata.
Toeti juga mempertanyakan konsep cinta.
"Cinta sebagai ilusi… ternyata jebakan biologis." Cinta sering kali menjadi alat justifikasi bagi perempuan untuk terjebak dalam sistem patriarkal. Masyarakat mengagungkan cinta, tetapi di balik itu, perempuanlah yang sering kali menanggung konsekuensi biologis dan sosial dari hubungan yang mereka jalani.
"Proyeksi pria yang haus kuasa, membenci dan mendendam sekaligus takut perempuan, itulah misogini." Patriarki tidak hanya membatasi peran perempuan dalam masyarakat, tetapi juga menciptakan narasi yang menakutkan tentang perempuan yang memiliki kekuatan.
Toeti Heraty juga menghubungkan kisah Calon Arang dengan realitas politik di Indonesia.
Mpu Baradah datang menemui Sri Mpu Kuturan di Bali yang lebih sakti lagi, untuk diminta persetujuannya atas niat Sang Erlangga menempatkan salah satu putranya pada tahta di Bali. Kisah ini mencerminkan bagaimana kekuasaan diwariskan melalui persekongkolan elite, bukan atas dasar keadilan.
"Bandingkan nepotisme masa kini, kini di Irian, Dili, Aceh… daerah menjadi proyek oleh pemerintah pusat, tidak jelas." Toeti menunjukkan bahwa pola eksploitasi kekuasaan terhadap daerah masih terus berlanjut. Papua, Timor Timur, dan Aceh seringkali hanya menjadi objek kebijakan pusat, tanpa diberikan hak penuh atas diri mereka sendiri.
Di masa kerajaan, upeti diserahkan kepada penguasa pusat. Kini, eksploitasi daerah terjadi dalam bentuk lain. Sumber daya alam dikeruk, sementara kesejahteraan masyarakat lokal tetap tidak merata.
Kisah Ratna Manggali yang menyerahkan ibunya sendiri kepada Mpu Bahula mencerminkan bagaimana perempuan ditekan untuk tunduk pada kehendak laki-laki, bahkan jika itu berarti mengorbankan sesama perempuan.
Mpu Bahula tidak merayu Ratna Manggali atas dasar cinta, tetapi sebagai strategi politik untuk mencuri kitab suci dan menghancurkan Calon Arang. Perempuan dalam budaya patriarkal sering kali dijadikan alat dan objek, tanpa kuasa penuh atas pilihan mereka sendiri.
Perjalanan ke Merasa bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan batin yang membuatku kembali bertanya tentang hubungan manusia dengan alam, tentang warisan yang ditinggalkan leluhur, dan tentang jejak yang ingin ditinggalkan di dunia ini.
Aku datang membawa pertanyaan, kegelisahan, dan dorongan untuk memahami lebih dalam tentang bagaimana masyarakat Dayak Kenyah memaknai hidup mereka, sebuah kehidupan yang berpijak pada keseimbangan dengan alam, bukan eksploitasi atasnya.
Merasa menyambutku dengan lanskap yang nyaris mistis—tebing karst yang menjulang, Sungai Kelay yang mengalir tenang, kebun kakao yang subur, dan di dalam rimbanya, orang utan yang berjuang untuk kembali ke rumahnya.
Salah satu titik perenunganku terjadi di Batu Lungun, makam leluhur masyarakat Dayak yang berusia lebih dari tiga abad. Makam-makam ini, yang dahulu menjadi tempat peristirahatan jasad dan benda-benda peninggalan leluhur, kini tak lagi utuh. Aku berdiri di depan tebing yang menyimpan sejarah panjang, menyadari bahwa waktu dan tangan-tangan manusia telah banyak merenggutnya. Lungun yang kosong itu bukan sekadar kehilangan artefak fisik, tetapi juga kehilangan makna, kehilangan penghormatan pada mereka yang datang sebelum kita.
Di depan Lungun, aku merasakan suatu keheningan yang berat. Seperti ada suara-suara yang mencoba berbicara dari masa lalu, mencoba mengingatkan kita bahwa tanah yang kita pijak bukanlah sekadar ruang kosong, tetapi ruang yang penuh dengan cerita, dengan roh, dengan sejarah yang masih bernapas. Aku bertanya-tanya, jika leluhur yang dimakamkan di sini masih bisa berbicara, apa yang akan mereka katakan tentang dunia yang kita tinggali sekarang?
Lalu aku kembali menyusur Sungai Kelay menuju kebun kakao, di mana masyarakat Kampung Merasa bekerja setiap hari. Di sini, tanah bukan sekadar lahan produksi, tetapi bagian dari hidup yang dirawat dan dipahami. Tidak ada keserakahan, tidak ada dominasi atas alam, hanya keterhubungan yang terjalin dalam siklus yang mereka jaga bersama.
Di pondok kecil di antara pohon kakao, aku duduk mendengarkan para petani bercerita. Ada sesuatu yang begitu intim dalam momen ini—sebuah rasa kebersamaan yang muncul hanya ketika seseorang benar-benar hadir, mendengar tanpa tergesa, melihat tanpa menghakimi.
Puncak perjalananku adalah saat aku berkunjung ke Pulau Bawan, menyaksikan orang utan yang sedang dalam masa rehabilitasi sebelum kembali ke hutan. Aku melihat mereka bergerak, memanjat, dan perlahan-lahan belajar kembali bagaimana menjadi bagian dari alam. Ada harapan di sana, tetapi juga kesedihan. Aku memikirkan bagaimana manusia sering kali menjadi penyebab kehancuran, tetapi juga satu-satunya yang bisa memulihkan. Aku bertanya pada diriku sendiri. Apakah aku bagian dari kehancuran itu? Ataukah aku bisa menjadi bagian dari pemulihan?
Pada dini hari setelah kembali dari perjalanan ini, aku terbangun dan menatap bulan yang perlahan meninggalkan malam. Kali ini, aku tidak merasa kosong. Aku membawa pulang sesuatu dari Kampung Merasa. Sebuah pemahaman baru tentang apa artinya hidup, tentang bagaimana kita bisa memilih untuk tidak menjadi bagian dari kehancuran, tetapi bagian dari upaya memulihkan.
Merasa mengingatkanku bahwa di tengah dunia yang serba cepat ini, ada ruang bagi keheningan, bagi hubungan yang lebih dalam dengan alam, bagi penghormatan terhadap sejarah. Aku tahu bahwa aku tidak akan bisa hidup sepenuhnya seperti masyarakat Dayak Kenyah, tetapi aku bisa belajar dari mereka. Aku bisa mengingat bahwa keberlanjutan bukan sekadar inovasi, tetapi juga penghormatan terhadap yang telah ada sebelum kita.
Why should the head of women in particular be considered so dangerous that it must be made to disappear?
This is no more than the age-old patriarchal struggle over women's heads, the fear that they might begin to think and throw off the bonds of slavery, of an inferiority enforced on them in all religions and in all societies.
I and all my writings are to calm the wild inner turmoil within me, maybe with this I will find a little peace :)
12 posts