Human behavior flows from three main source : desire, emotion, and knowledge. The only true wisdom is in knowing you know nothing-
233 posts
Ketika terpikir bahwa selama ini catatan hanya selalu menjadi catatan, yang pada akhirnya seringkali terlupakan. Maka, apa pun kini bentuknya, catatan adalah penyimpanan memori bahwa nyawa pernah melekat.
Today – Thursday, June 21 – is the summer solstice in the northern hemisphere. But what causes this change in seasons? And what exactly is a solstice? It’s all about Earth’s tilt!
Many people believe that Earth is closer to the Sun in the summer and that is why it is hotter. And, likewise, they think Earth is farthest from the Sun in the winter.
Although this idea makes sense, it is incorrect. There is a different reason for Earth’s seasons.
Earth’s axis is an imaginary pole going right through the center of Earth from “top” to “bottom.” Earth spins around this pole, making one complete turn each day. That is why we have day and night, and why every part of Earth’s surface gets some of each.
Earth has seasons because its axis doesn’t stand up straight. Today, the north pole is tipped toward the Sun, and the south pole is tipped away from the Sun. The northern summer solstice is an instant in time when the north pole of the Earth points more directly toward the Sun than at any other time of the year. It marks the beginning of summer in the northern hemisphere and winter in the southern hemisphere.
To mark the beginning of summer, here are four ways to enjoy the many wonders of space throughout the season:
1. Spot the International Space Station
As the third brightest object in the sky, the International Space Station is easy to see if you know when to look up. Sign up to get alerts when the station is overhead: https://spotthestation.nasa.gov/. Visible to the naked eye, it looks like a fast-moving plane only much higher and traveling thousands of miles an hour faster!
2. Treat your ears to space-related podcasts
From our “Gravity Assist” podcast that takes you on a journey through the solar system (including the Sun!) to our “NASA in Silicon Valley” podcast that provides an in-depth look at people who push the boundaries of innovation, we have podcast offerings that will suit everyone’s taste. For a full list of our podcasts, visit https://www.nasa.gov/podcasts.
3. Explore space by downloading NASA apps
Our apps for smartphones, tablets and digital media players showcase a huge collection of space-related content, including images, videos on-demand, NASA Television, mission information, feature stories, satellite tracking and much more. For a full list of our apps available for download, visit https://www.nasa.gov/connect/apps.html
4. Watch launches to space
This summer, we have multiple opportunities for you to take in the sights of spacecraft launches that will deliver supplies and equipment to astronauts living aboard the International Space Station, explore our solar system and much more. Be sure to mark your calendar for upcoming launches and landings!
Make sure to follow us on Tumblr for your regular dose of space: http://nasa.tumblr.com
This week, we’re getting into the Halloween spirit with 10 spooktacular things to let your imagination run wild.
It’s not Halloween without our favorite scary characters, but what if they could stop bothering us Earthlings and go far, far away? We begin with where Dracula, Frankenstein, and other creepy creatures might choose to live if the galaxy were theirs to claim…
The prince of darkness himself, Dracula, can finally seek sweet respite from the Sun. We think he’d love to live on a rocky planet named YZ Ceti d that orbits so close to its red star that it’s tidally locked keeping one side of the planet in perpetual nighttime and the other side in perpetual daytime, with a brilliant red sky (though we can guess which side Dracula will prefer).
Home sweet home for our furry Full Moon friends might just be on Trappist-1, a planetary system with seven planets—and where standing on one planet would mean the other planets look like six moons (some as big as our Moon in the sky).
We couldn’t think of anyone better to live on Proxima b than The Mummy. Hopefully this ancient monster can finally rest in peace on an exoplanet that scientists theorize is a desert planet once home to ancient oceans.
One scientific experiment we’d like to conduct: whether Frankenstein would rather live on HAT-P-11b or Kepler-3b, theorized to have fierce thunderstorms and lightning.
We’re pretty confident that if zombies were to pick a planet, they’d want one that shares their love of death and destruction. We think they’d feel right at home on one of the pulsar planets, which are scorched by radiation because they orbit a dead star.
Skeletons need look no further: Osiris, an exoplanet that’s so close to a star that it’s “losing its flesh” as the star destroys it, seems like a perfect match.
For kids out there, turn pumpkin decorating into an out-of-this-world activity with space-themed stencils, from Saturn to the Sun.
Cassini’s radio emissions from Saturn could give creaky doors and howling winds a run for their money. Listen to the eerie audio recordings here and find more HERE.
NASA engineers design and build robots that can fly millions of miles to study other planets for a living—so on Halloween, they can’t help but bring that creative thinking to the grand old tradition of pumpkin carving. Take a cue from their creations with these insider tips.
From blades of ice on Pluto to a fuzzy, white “bunny” photographed on Mars, become a solar system sleuth and see if you can solve the stellar mysteries in this slideshow (then compare with how scientists cracked the case).
Make sure to follow us on Tumblr for your regular dose of space: http://nasa.tumblr.com.
Millenials, entah dalam konotasi yang negatif atau positif tapi memiliki jalur kehidupan yang memang unik. Ada yang hidup untuk mencari eksistensi dan pengakuan dan ada yang hidup untuk egois saja, memikirkan celah sekecil mungkin untuk bisa memberi egonya makan tanpa harus nampak di permukaan.
Ada satu pola yang terlihat bagi 'sesungguhnya' mayoritas millenials (yang kuikuti) bahwa tidak ada ketertarikan membagi lebih apa yang seharusnya bisa bermanfaat. Seolah membagi yang berbeda akan menghadirkan cibiran orang. Lalu mereka yang sebetulnya luar biasa bersinar justru tidak pernah repot menampakkan betapa pribadinya sungguh cerdas dari pikir dan polahnya. Hanya ada sesembahan artifisial yang berlomba-lomba diperlihatkan.
Justru yang menghadirkan hal yang bermanfaat bukan dari orang yang benar kita butuhkan ilmunya. Terkadang yang menunjukkan sesuatu yang bermanfaat adalah orang yang menurut pandangan kita berada jauh di atas level kita. Sampai perlu mendongak untuk coba mengkhayalkan atau mengangankan ada di posisi itu. Dan permasalahan yang terjadi selanjutnya adalah orang-orang pada level tertentu ini mencoba mengimitasi sesuatu yang tidak menjadi kesehariannya tetapi yang mereka lupa itu adalah pekerjaan orang yang berada di level atas. Tanpa sadar setiap hari yang dilakulan oleh manusia-manusia ini adalah mendongak.
Di saat mulai lelah dengan manusia artifisial ini dan mendongak sudah menjadi keahlian, kemudian ada bertubi-tubi sebentuk manusia lain yang datang dalam sosok yang begitu nyata. Terasa dekat dan realistis dengan kehidupan kita. Tetapi dengan perbedaan nasib yang sungguh sangat berbeda di saat akses yang dimiliki sebenarnya sama. Manusia-manusia yang penuh pengakuan ini kemudian menjadi satu komunitas yang masif dan membuat sebagian orang lainnya (yang sama atau merasa sama visinya) akan terus-terusan mendongak.
Membiasakan diri melihat sesuatu yang nampak luar biasa di mata kita akan berbahaya saat kita mulai resisten dan merasa itu hal yang biasa, di saat sebenarnya kita dari awal mendongak sampai merasa biasa saja itu tetap tidak melakukan apa-apa. Kita bisa saja mengelompokkan orang-orang yang begitu sureal sampai ke kelompok orang yang seolah masih bisa kita samai walaupun kondisinya jauh di atas kita. Asal kita tetap konsisten mendongak. Lalu mengikuti apa-apa hal paling masuk akal yang bisa kita ikuti. Kelompok yang begitu sureal biarkan tetap menjadi inspirasi, karena tidak pernah dipungkiri bahwa mereka adalah chandelier yang membuat ruang gerak kita menjadi terang dan nampak indah.
Kalau kita tidak hanya terpana dengan chandelier itu dan tetap berjalan menuju ruang temaram yang indah dan hangat, mendongak tidak apa-apa. Nyatanya memang chandelier itu yang membuat mudah semuanya. Atau harus dikatakan trigger karena setidaknya dia yang merasa bahwa kita pantas berada di satu ruangan dengan dekorasi yang indah.
Bagi seorang introvert menemukan zona nyaman tidak lah sulit. Yang sulit adalah beranjak di saat zona nyaman itu semakin menenggelamkan dalam paradigma 'kesendirian' seorang introvert. Karena seharusnya zona nyaman itu bukan tempat persembunyian tetapi tempat peristirahatan. Istirahat selalu berasosiasi dengan pemulihan energi. Persembunyian berkorelasi dengan kepengecutan dari hal yang tidak berani dihadapi.
Sebagai seorang INFP, aku juga merasakan zona nyaman itu terlalu sulit untuk disingkirkan dan hanya menjadi peranjakan sementara. Bukan yang mempunyai tali kekang sampai akhirnya tidak kemana-mana. Aku tidak tahu bagiku zona nyaman itu kamar, sendiri atau tidak melakukan apa-apa. Semuanya sama mengkhawatirkannya. Kalau diminta untuk memilih aku ingin memilih sendiri di tempat yang jauh. Karena dengan berjalan setidaknya indera yang dimiliki akan berfungsi.
Jadi apakah zona nyaman bisa diubah tanpa perlu pemaksaan yang berlebihan karena tujuannya bukan ingin keluar dari zona nyaman tetapi berganti zona nyaman?
Berandai-andai memiliki tempat atau rutinitas yang tepat guna dan dijadikan zona nyaman versi utopisku adalah sesederhana berjalan. Sendirian. Memproses segala sesuatu yang tidak berjalan baik di hari kemarin dan merenungkan segalanya. Mencurahkan waktu sepenuhnya untuk diri sendiri. Karena kalau hal semasif kepribadian saja fluid, bagaimana dengan isi kepala? Yang berisi neuron yang sedia menghantarkan rangsang dari semua hal yang dirasa, dilihat, diraba, dikecap, didengar.
Satu hal lainnya yang kuidamkan dan ingin dijadikan candu dan kusebut sebagai zona nyaman adalah menulis. Berkolaborasi dengan pergi dibersamai oleh memikirkan apa perlu dipikirkan, sekembalinya aku ingin menuliskan. Apapun. Dan untuk satu hal ini, aku tidak akan pernah bosan untuk mendobrak zona nyaman. Kalau itu sudah jadi zona nyaman.
Sampai sekarang kasur dan tidur masih terlalu sulit untuk dienyahkan. Atau kesendirian itu sendiri yang pada kenyataannya telah mengalami pemaknaan yang keliru karena terlalu sering dilakukan berulang-ulang?
Nyatanya seorang INFP yang ingin punya persona Ekstrovert ini susah sekali untuk sekedar menciptakan humor untuk hidupnya sendiri. Konsistensi yang tidak konstruktif.
Zona nyaman, inginku pergi dan menulis, lalu konsisten dan berhasil menyembuhkan atau melahirkan.
Aku ngerasa banget sih kalau minat baca di Indonesia itu rendah banget. Aku ngomong setelah lihat data. Tapi asumsi awam juga bakal nunjukin itu sih dengan melihat betapa sepinya perpustakaan. Toko buku untungnya masih ramai. Entah kenapa rasanya segitu susahnya menumbuhkan rasa cinta akan ilmu pengetahuan. Padahal kalau mereka rajin baca kan secuil pun nggak ada ruginya. Malah keuntungannya bisa berkelanjutan untuk dirinya sendiri terlebih untuk orang lain kedepannya. Karena ilmu juga nggak akan pernah habis.
Cerita dipersingkat dengan adanya diversifikasi produk untuk mengakses ilmu pengetahuan. Sampai sekarang masih banyak sih penggalangan buku untuk berbagai perpustakaan di daerah-daerah. Itu adalah sesuatu yang sangat positif dan sangat perlu membuka akses semua orang akan ilmu pengetahuan atau pendidikan. Aku nggak ngerti ya hitung-hitungan secara sistematis, tapi di kepalaku muncul pop up bahwa seharusnya akses itu dibarengi dengan akses teknologi.
Kenapa teknologi begitu penting? Ya sekarang jamannya internet. Dan dunia dalam kurun waktu sepuluh tahun saja sudah berubah sangat drastis. Apa ada jaminan bahwa buku yang didistribusikan ke daerah-daerah itu masih relevan? Bukannya mau bilang bahwa ilmu itu akan sia-sia, bukan. Tapi perlu ilmu yang mutakhir dan terkini juga karena yang akan dihadapi oleh banyak orang adalah masa mendatang, bukan masa lalu.
Dengan teknologi, akses ilmu pengetahuan akan langsung bisa dikonfirmasi apakah masih relevan atau tidak. Contoh dari akses terhadap ilmu pengetahuan adalah adanya perpustaan digital. Kalau tidak salah di Indonesia diinisiasi oleh Pemerintah Jakarta dengan mengeluarkan aplikasi bernama iJakarta. Di iJakarta terdapat begitu banyak buku dari berbagai katagori seperti Sejarah, Agama, Filsafat, Fiksi, BSE dsb dan semuanya gratis. Hal tersebut adalah transformasi yang sangat positif bagi dunia pendidikan. Tapi sayangnya gaung iJakarta ini masih belum terdengar secara luas. Selain itu secara teknis juga masih perlu banyak pembenahan. iJakarta ini secara positif juga memberikan apresiasi kepada penulis dengan cara memberikan ruang kepada penerbit-penerbit untuk memberikan akses ebook-nya di Jakarta yang mana orang lain juga dapat mendonasikan untuk setiap buku yang ada di sana. Sehingga bisa menjadi bagian dari royalti untuk penulis. Secara detailnya mengenai iJakarta aku juga kurang paham. Tapi yang jelas bahwa iJakarta mestinya dibawa ke ranah yang lebih luas dengan akses yang tidak terbatas.
Selain tentang iJakarta, yang ingin kutulis di sini adalah tentang Audiobook. Audiobook adalah rekaman dari isi buku yang dapat diakses melalui perangkat audio. Sudah lumayan lama aku mendengarkan audiobook dari berbagai cerita. Yang terkenal dan sering didengar adalah Kindle dari Amazon. Tapi tentu saja itu berbayar. Kabar baiknya, ada audiobook yang bisa diakses secara gratis. Namanya adalah LibriVox. Librivox adalah free public domain audiobook. Di dalamnya banyak sekali audiobook dari buku akademik, biografim sejarah, filosofi maupun cerita fiksi yang terkenal dari William Shakespeare, James Joice, Helen Keller, Kate Chopin, Eleanor Gates dan masih banyak lagi. Dan semuanya bisa diunduh secara gratis. Audiobook di Librivox direkam oleh para volunter dan dapat diakses oleh siapapun, kapanpun dan dimanapun. Sangat amat super keren!
Tentang audiobook ini, aku sangat berharap bahwa Indonesia mulai berpikir sevisioner ini untuk menambah akses terhadap ilmu pengetahuan semakin mudah. Dan semuanya bisa dimulai dengan mempersiapkan teknologi yang layak. Karena tidak ada yang lupa bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa adalah tugas dari negara.
Tidak ada pagi yang dilewati tanpa resah. Apalagi hari-hari yang setiap harinya membuat kontak langsung dengan media sosial. Pasti ada resah setelahnya. Resah ini dalam artian baik sepertinya. Mungkin sebagai awalan aku akan menceritakan bahwa aku adalah pengguna aktif media sosial. Semua media yang trending, aku hampir menggunakannya walaupun kebanyakan hanya sebagai penikmat dan bukan sebagai konten kreator.
Dan resah itu, pagi ini dan pagi-pagi sebelumnya berwujud Ranitya Nurlita, Gita Savitri Devi dan Alamanda Shantika. Ketiga orang yang sangat terasa karismanya karena menjadi orang-orang yang peduli dengan isu sosial di sekitarnya. Dimulai dari Kak Lita, sapaan Kak Ranitya, aku mengenalnya pertama kali saat melakukan sebuah pekerjaan dan beliau menjadi mentor. Saat dijelaskan begitu banyaknya prestasi beliau terutama di bidang lingkungan yang ada di benakku adalah suatu hari nanti aku juga ingin seperti dirinya. Menjadi orang yang sebegitu pedulinya dengan bumi yang dipijaknya. Beliau adalah inisiator #ASEANReusableBagCampaign. Tidak sulit untuk menjadikan Kak Lita sebagai role model karena sifatnya yang humble dan suka berbagi ilmu serta pengalaman. Dan untuk hidupnya yang selalu dinamis dan terlihat selalu ada saja yang dikerjakan aku iri dengan itu. Rasa iri yang ingin aku pertahankan. Terlebih tentang hatinya yang penuh kepedulian itu, aku sangat iri. Senang rasanya pernah memiliki kesempatan berinteraksi dengan beliau. Maaf ya Kak Lita, aku mau izin memilihara rasa iri ini biar setiap harinya tetap termotivasi agar suatu saat nanti bisa seperti kakak.
Tentang Gita Savitri. Pasti nama yang sudah tidak asing. Dari semua konten Gita sudah pasti yang banyak digemari adalah Youtube dan instagramnya. Untukku, Youtube dan Blognya. Aku suka bagaimana Gita selalu tanpa tendeng aling-aling menyampaikan opini dengan cara yang objektif. Dan yang membuatku kagum adalah tentang bagaimana dia selalu mengajak orang untuk bermanfaat untuk orang di sekitarnya. Peka terhadap isu sosial dan selalu toleransi. Sebenarnya dari yang kulihat sudah banyak anak muda yang memiliki pemikiran sekritis Gita, tapi bedanya masih sangat jarang yang speak up. Banyak anak muda itu hanya eksis di golongannya saja padahal potensinya begitu besar untuk membawa perubahan. Tidak sedikit juga anak Indonesia yang kuliah di luar negeri dan punya keresahan yang sama dengan Gita, tapi mereka tidak memvisualkan apa yang ada di kepala mereka seperti yang Gita lakukan.
Baru beberapa hari yang lalu aku tahu tentang Alamanda Shantika, tapi lupa dari mana awalnya. Alamanda bagiku juga adalah seseorang yang hebat dengan idealisme yang kuat. Bukan hanya karena dia mampu membawa sebuah start-up terbesar di Indonesia menjadi sangat maju tetapi adalah bagaimana dia memanfaatkan momen dengan kejayaan itu untuk membuat dampak yang lebih besar. Kibar. Adalah organisasi nirlaba yang fokus untuk membatu pengembangan startup digital di Indonesia dan saat ini sedang fokus dalam Gerakan 1000 Start-up Digital. Masih teringat jelas dalam speech-nya di Kibar bahwa saat ini driver Go-Jek dimana Alamanda sebelumnya menjadi VP-nya sebanyak 250ribu orang. Dan sebanyak orang itu adalah tulang punggung keluarga. Secara tidak langsung bahwa dengan adanya Go-Jek, Alamamda bisa memberi makan begitu banyak orang di Indonesia. Begitulah yang dia tanamkan dalam dirinya bahwa kalau ada 1000 start-up, bukan tidak mungkin 255 juta penduduk Indonesia akan terpenuhi kebutuhannya. Itulah yang akhirnya membawa Alamanda untuk meninggalkan Go-Jek dan beralik ke Kibar. Tentang menjadi peduli untuk orang lain.
Resah ini semakin membanjiri diri. Berpikir dengan cara apa bisa berguna bagi orang lain. Berpikir bagaimana caranya bisa menjadi salah satu sosok perempuan terutama pemuda Indonesia agar memberikan dampak positif bagi sekitar. Kebanjiran yang menyenangkan. Kebanjiran resah.
Kalau ada yang bilang bergerak adalah bukti bahwa manusia eksis. Maka bagiku pergerakan sel-sel otak yang menciptakan koordinasi yang membawa pada proses berpikir adalah bukti eksistensi manusia. Pergerakan mungkin melawan penuaan. Tapi yang kubutuhkan sekarang adalah sesuatu yang mampu meredam isi di kepala.
Ada resah tak kasat mata yang meskipun diurai justru akan menambah daftar panjang jam kerja otak. Sinapses dengan porsi yang saling berkejaran. Mungkin masalah juga harus dipetakan dan mulai dibuat kapita selekta untuk mengetahui tema besar permasalahannya yang menghabiskan semua porsi hari-hari dengan daydreaming atau dengan resah tak berkesudahan. Mungkin merajuk pada 22, 2017 atau satu kata.
Tidak ada yang salah dengan keresahan. Yang salah adalah kapasitas diri yang tak cukup terkelola dengan baik untuk menanggung luapan keriuhan tersebut. Masa-masa menuju Quarter life crisis tidak tahu lebih bijak untuk dihadapi sekarang atau tepat pada saat quarter life nanti. Bekal, bekal. Itu bukan sih yang jelas diperlukan?
Ada manusia-manusia yang melesat maju dan akhirnya keriuhan akan berakhir pada sebuah keputusasaan. Itu adalah senyatanya hal yang harus diantisipasi. Mungkin solusi terbaik yang saat ini terpikirkan ya dengan memetakan keriuhan itu lalu mengurai satu per satu berdasarkan kapabilitas diri untuk menyelesaikan. Lalu, biarkan tangan mengambil alih keriuhan itu untuk dijadikan sebagai sebuah value yang termanifestasi dalam tindakan yang berkelanjutan.
Seni adalah perkara substansi, bukan hanya perkara selera. Kalau seni hanya perkara selera, seni tidak punya kebenaran. Kalau seni tidak punya kebenaran, maka dia tidak punya kekuatan. Kalau seni tidak punya kekuatan, seni tidak punya kebebasan. Jadi, apakah berlebihan bahwa seharusnya orang berkesenian harus punya tujuan? Itu menjadi keharusan.
nauraini
Menulis mungkin memang ekspresi diri yang membuat bahagia. Seharusnya tidak terbelenggu apapun. Banyak kebebasan yang bisa menjadi privilese seseorang dalam menulis. Tapi, saat berada dalam posisi membandingkan antara karyanya dan karya orang lain akan muncul persepsi baik dan kurang baik. Lalu, saat dirinya berada dalam kondisi kurang baik seharusnya adalah mencari pertolongan dengan membaca lebih banyak buku. Bukan mencari pembenaran dengan kuantitas yang membaca sama dengan kualitas isinya. Padahal dia sendiri sadar kalau itu hanya penyangkalan.
nauraini
Seseorang tidak boleh ada dalam posisi menghakimi orang lain secara personal kecuali orang tersebut mengganggu kepentingan orang banyak. Ada begitu banyak kesalahan yang dilakukan orang dengan menerapkan standar ‘baik’ dalam dirinya atau pikirannya atau pengetahuannya kepada orang lain, padahal belum tentu sesuai. Pemaksaan penerapan standar baik itu pada beberapa kasus malah menjadi bumerang untuk menyakiti sesamanya.
nauraini
Membaca dan bepergian. Bertanggung jawab untuk memastikan bahwa yang dibaca adalah sebuah kebenaran. Reflektif.
Semakin terbukanya akses informasi pada era internet ini (alah-alah bahasaku berasa mau bikin latar belakang skripsi) membuat setiap orang bisa mendapatkan apa saja yang dia butuhkan. Serius, like, Google itu mengakomodasi informasi apapun dengan keyword yang sesuai. Asal jangan cari tahu siapa nama nenek moyangmu. Manalah dia tahu kecuali kau cucu Soeharto yang perpustakaan SD juga penuh sama buku tentang dia. Kebiasaan ngelantur, intinya bukan itu.
Ini entah karena aku semakin tua makannya merasa kebutuhan akan ilmu semakin kuat atau karena emang aku sebodoh itu yang selalu merasa nggak tahu apa-apa atau karena kepalaku yang selalu riuh dan inginnya memikirkan hal yang berfaedah. Ketiganya nggak buruk. Terasa semenjak aku kuliah semester awal kebutuhan untuk men-supply diri dengan sesuatu hal yang baru terus meningkat. Semakin mengkhawatirkan sampai saat ini. Selalu ada di kondisi ‘apa yang sudah kupelajari atau dapat hari ini?’ atau ‘anjir itu orang berasa ngerti segalanya kok aku nggak ngerti apa yang dia omongin ya’ (mostly anak ask.fm which is dia anak politik yang tentu saja aku lemah di ilmu itu tapi terasa cukup tertarik untuk mempelajarinya). Dan jadilah walaupun cuma basic dan effortnya tidak terlalu kuat sampai harus akses jurnal internasional (seperti referensi yang dia gunakan) bahkan cuma akses dari berita-bertia ngehe perpolitikan dalam negeri setidaknya konsepnya dapat.
Ketidaktahuan itu nikmat juga.
Bagi yang betulan sadar bahwa mengisi kepala dengan ilmu adalah sebuah keharusan maka mencari ilmu itu adalah kenikmatan yang sensasional. Ketidaktahuan yang nikmat. Apalagi kalau menyadari bahwa diri jauh tertinggal dari orang seusia kita yang melesat jauh di depan misalnya. Seperti halnya aku yang baru saja ketampar bolak-balik rasanya sama orang-orang yang masuk 30 under 30-nya majalah Forbes. Masing-masing bidang sudah digarap dengan gemilang seperti consumer technology, retail and e-commerce, the art, manufacturing and energy, finance and venture capital, enterprise technology, health and skincare serta media, marketing and advertising. Sedangkan aku di sini menyadari bahwa aku jauh, sejauh-jauhnya tertinggal dan lambat, selambat-lambatnya belajar dari mereka semua. Mungkin bukan penghargaanya yang membuat tertampar, tapi bagaimana orang-orang ‘di bawah 30 tahun’ itu begitu well-informed sampai akhirnya membuat sesuatu yang bermanfaat untuk orang lain. Itulah tujuan piramida puncak dari belajar.
Tapi nggak apa-apa. Akan ada saatnya buatku dengan cara yang berbeda. Alhamdulillah aku sudah memulai: menulis. Menulis bagiku adalah salah satu cara untuk memberikan hal yang berguna bagi orang lain. Tidak melulu harus menjejelkan ideologi yang kupunya ke pembaca, justru lebih ke membawa mereka pada berbagai perspektif sampai akhirnya mereka bisa menentukan penyikapan terbaik atas sesuatu yang didapatkannya. Sikap kepoku tentang banyak hal ingin aku bagi juga kepada yang membaca tulisanku. Walaupun masih sangat terbatas ilmunya, tetapi aku coba mengamalkan seperti yang HR Bukhari katakan ‘sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat.’ Persyaratan yang mengikutinya adalah ilmunya harus jelas dan pemahaman dari penyampai harus baik. Entah aku sudah memenuhi persyaratan itu atau belum tapi setidaknya dengan menyampaikan suatu hal bisa merangsang siapapun nantinya yang ingin tahu lebih mendalam.
Kondisiku sendiri saat ini masih ingin tahu begitu banyak hal dari semua bidang keilmuan. Mungkin nggak semua. Minus teknik, kedokteran, akuntansi tidak terlalu menjadi minatku dikarenakan ilmu profesi itu terlalu teknis dan aku sudah jauh tertinggal. Tapi seperti sebelumnya yang aku sampaikan, bahwa bisa tahu konsep saja juga sudah menyenangkan buatku. Mungkin spesifik yang sering menjadi concern-ku adalah hal-hal yang banyak menjadi headline atau kategori berita juga seperti politik, ekonomi, kesehatan (secara general), fashion, teknologi minus otomotif, gaya hidup, travelling dan lain sebagainya. Aku memaksakan diri untuk setidaknya tahu secara general tentang hal yang aku sebut di atas. Beberapa cara yang kulakukan untuk membuat pencarian insight ini menjadi menyenangkan adalah: 1. Membaca berita harian (aku baca Kurio karena WSJ bahasanya ketinggian buatku) 2. Follow akun-akun penyedia berita di Twitter 3. Follow orang-orang yang concern tentang apa yang menjadi ketertarikanku (ini bisa di semua media sosial yang kita mainkan, bahkan tak jarang ada beberapa orang yang konsisten aku follow di semua akun media sosialnya) 4. Tonton video bermanfaat (aku paling senang tonton TED, Buzzfeed bahkan serandom Allux) 5. Mendengarkan podcast (biasanya kalau menemukan source yang proper, dia sudah lihai membahas berita apa yang sedang ‘in’) 6. Main pinterest (astaga ini sangat amat kesukaan. Bagaimana melihat infografik-infografik itu disajikan dengan visual yang menyenangkan) 7. Main ask.fm (ini mengacu ke poin nomor tiga yaitu dengan memanfaatkan tanda bintang untuk setiap akun yang kita anggap apa yang keluar dari jawabannya akan mencerdaskan kita) 8. Main instagram (ini sangat penting untuk melatih visual terutama bagi yang suka fotografi spesifik fashion atau travelling) 9. Membaca blog (entah milik so called influencer atau bukan, selama merasa dia worthy dan good enough untuk diambil ilmunya ya baca saja!)
Cara nomor 1-9 rasanya menyenangkan semua untuk dilakukan. Aku menjaga dan memaksa diri untuk terus konsisten mengakses beberapa poin tersebut. Karena sesungguhnya terlalu banyak yang terjadi setiap harinya di saat kita selalu bilang kalau ilmu kita belum ada setetes air laut. Dan ilmu seluas lautan itu bisa kita dapat atau temukan dengan mudah sekarang. Pertanyaannya adalah selalu dan selalu mau atau tidak. Mungkin kalau kita tidak merasa harus mengetahui banyak hal, setidaknya ahli di bidang yang kita pelajari dengan intens seperti jurusan sekolah atau kuliah pun tak apa. Dan kembali menerapkan setetes air di lautan itu. Keingintahuan itu bisa ditumbuhkan secara alami atau dipaksa tumbuh. Sampai pada akhirnya kita ingin membuat diri kita ahli di dalamnya atau hanya sekedar tahu.
For beautiful eyes, look for the good in others; for beautiful lips, speak only words of kindness; and for poise, walk with knowledge that you are never alone.
Audrey Hepburn
Bonus demografi dan menjadi bagian setengah lebih jumlah populasi, banyak yang berbicara tentang kompetisi. Usia produktif yang beradu sikut saling merongrong negeri sendiri. Ada yang betul peduli, ada yang minta dikasihani. Cara keluar dari jeruji adalah dengan meningkatkan kapasitas diri. Karena, bonus demografi masih akan melonjak sampai tahun ke depan nanti. Karya dan eksistensi perlu mulai dirancang sejak dini.
nauraini
Walaupun sudah kubilang ingin melupakan, tapi salah tidak sih kalau terkadang waktu masih ingin mengulang mengenang? Sama halnya seperti Saverus Snape, ‘after all this time?’ he said ‘always’ but i wanna say 'still.’
nauraini
Suka pada seorang ibu yang menumbuhkan anaknya dengan ilmu. Manjawab berbagai hal yang selama ini dianggap lumrah dengan ilmu. Karena payahnya seorang ibu dalam belajar untuk membesarkan anaknya adalah manifestasi dan investasi tersempurna bagaimana anaknya akan bersinar nantinya.
nauraini
Sore pukul segini, kemarin, aku sedang berada di Kedai Makanan cepat saji dan terkantuk-kantuk. Setelah mendengar cerita pribadi dari seorang sahabat baru. Banyak yang kupelajari juga, bahwa saat usia semakin dewasa makan pemikiran objektif itu akan semakin berkembang. Kendati tidak nyaman pada suatu kondisi, tetap tidak boleh pernah mengeluh dan hidup harus tetap berjalan. Dan saya bangga untuknya yang sedang berjuang untuk kestabilan hidupnya. Sore pukul segini, dia sedang resah memainkan ponsel dan berbalas pesan dengan klien yang berpotensial mengacaukan pekerjaannya. Dan pada akhirnya diiringi hujan lebat di Bogor, aku dan dia larut dalam kekesalan pada sang klien itu. Wajah frustrasi karena persiapan kegiatan sesuai permintaan klien itu sudah siap dieksekusi esok harinya, dia malah membatalkan sepihak dengan alasan yang sungguh tidak bisa diterima. Akhirnya karena saya sedikit khawatir karena waktu semakin malam akhirnya saya mengajak untuk pulang. Sebelum pulang, kami mampir ke rumah Manajer teman saya ini untuk menyelesaikan masalah tersebut sekaligus ada urusan pinjam meminjam barang. Di sana, ponsel teman saya diambil alih oleh sang Manajer dan akhirnya beliaulah yang menulis panjang lebar berisi penjelasan serta konfrontasi sikap tidak profesional klien tersebut. Sampai pada akhirnya klien tersebut menelepon! Lalu perdebatan sengit Sang Manajer dengan sang klien tidak terhindarkan. Dan yang saya kagumi dari Sang Manajer adalah ketegasannya saat melakukan negosiasi. Sempat berjalan alot karena sang klien tidak mau mengganti biaya operasional yang sudah digunakan untuk persiapan acara. Padahal pengajuan dana tersebut sudah masuk ke institusi dan kerugian mereka yang sebenarnya jauh lebih besar dari nominal tersebut. Bermain dengan irama, ketegasan tersebut sangat terpancar. Nada-nada yang tegas dan diusahakan stabil serta tidak terpancing amarah ditunjukkan oleh Sang Manajer. Sampai sekitar sepuluh menit berselang, perdebatan masih belum usai. Memainkan kartu mati! Sampai pada puncaknya karena tidak mencapai kata sepakat dari sang klien yang sungguh tak mau rugi dan banyak alasan akhirnya Sang Manajer memainkan kartu mati! Ada satu pernyataan yang pernah disampaikan oleh Sang Manajer tempo lalu yang tidak bisa dibantah oleh sang klien. Aha! Dan akhirnya kesepakatan terjadi dengan sang klien mau mengganti rugi biaya operasional. Pembicaraan berlanjut, sampai pada temanku yang diberi teguran karena terlambat mengirimkan surat penawaran sampai bisa dijadikan senjata untuk melawan dari sang klien. Ini pasti akan menjadi pelajaran berharga juga untuknya. Akhirnya sampai pada waktu aku mengantarnya pulang ke kos, dia bercerita bahwa dia kurang setuju dengan sikap Sang Manajer yang beberapa kali melemparkan klien yang banyak permintaan kepadanya. Dan ternyata dulu pernah ada kejadian yang sama walaupun tidak sampai pembatalan kerjasama. Dan saranku untuknya satu-satunya ya dia harus menyampaikan hal tersebut. Karena mau tidak mau mereka adalah tim yang harus saling bekerjasama terlebih menjadi nama institusi tetap baik. Alasannya adalah karena dia adalah orang yang tidak tegaan untuk menyampaikan kritik. Ini adalah masalah klasik yang biasanya dialami oleh junior. Karakter yang dimiliki oleh individu juga mempengaruhi sikap yang akan diambilnya saat menghadapi masalah. Tapi dalam ranah profesionalisme, kita seharusnya bisa lebih berani untuk menyampaikan pendapat atau masalah yang sama akan terus terulang. Karena terkadang konflik memang mendewasakan bagi mereka yang belajar.
Hari ini banyak kejadian yang bisa diabadikan dalam sebuah pembelajaran yang hakiki (me: hqq). Mulai dengan yah media sosial yang kembali ramai dengan panas sisa pilkada dengan adanya berita yang membuatku secara pribadi menundukkan kepala dan berdoa kepada setiap insan yang mulia hatinya untuk selalu dilapangkan dadanya. Aku bukan orang yang berhak untuk bicara banyak (selain karena tak mau) karena keterbatasan ilmu. Tapi, keberpihakan itu tidak bisa kupungkiri dalam hatiku yang paling dalam. Untuk Bapak yang sedang dalam cobaan, ada banyak doa yang membumbung ke udara agar Bapak selalu tabah. Aku benci dengan kebencian. Dan ada satu titik kemunduran yang kembali dilakukan oleh negeri ini. Di antara bergaungnya Marsinah dalam #MelawanLupa ini akan menjadi satu seremonial mengheningkan cipta yang paling khusyu.
Lalu, karena ketidakmumpunian pengetahuan mari kita tinggalkan sejenak apa yang menjadi paragraf di atas. Beranjak ke pelajaran yang kedua. Jadi kemarin sore ada seorang sahabat yang menghubungiku melalui WhatsApp bahwa aku dipanggil untuk wawancara di salah satu institusi yang kebetulan sedang membutuhkan tenaga seperti yang dikatakannya tempo lalu. Sampailah pada pembahasan paling sensitif tapi krusial, gaji. Sempat merasa kaget dengan gaji yang bisa dibilang begitu kecil untuk pekerjaan penuh waktu. Sangat kecil bahkan. Bimbang dan bimbang menutup hari sore kemarin.
Paginya, masih ada keengganan untuk memenuhi panggilan itu tapi sekaligus tidak tahu kalau menolak harus bilang apa. Dan kondisi diperparah dengan kesengajaan diri yang kampret ini melihat berbagai profil teman atau idola di LinkedIn. Makin kurang ajar sama diri sendiri lagi sengaja download aplikasi Qerja. Dan rendah diri kembali muncul.
Di antara berbagai posisi prestisius teman seangkatan dengan gaji yang bisa dikatakan tinggi, maka gaji di tempat aku akan bekerja ini mungkin hanya 1/6-nya atau lebih tinggi sedikit. Yang paling membuat helaan napas panjang adalah di usia yang lebih muda, ada seorang teman yang baru saja diterima sebagai seorang Product Manager di perusahaan Platform Travel yang menawarkan gaji yang bahkan General Manager di perusahaan menengah saja belum sebanyak itu. Dan, itu di usia 21 tahun. Ikut bangga untuknya.
Lalu, ada satu hal yang membuatku akhirnya yakin. Setelah riset sebentar dan baca-baca tentang apa yang akan aku tangani nanti lalu aku mengharuskan diri untuk merasa mantap. Karena aku merasa ini akan menjadi passionku. Menjadi environment care-taker. Akhirnya datanglah waktu wawancara. Yang ditanyakan standar tentang kompetensi diri.
Belum ada keputusan final aku akan diterima atau tidak, tapi satu hal yang aku garisbawahi di sini adalah proses pencapaian sepakat setelah berdialog relasi dengan diri sendiri adalah dengan menurunkan ego dan tidak merasa tinggi hati. Karena pada kenyataannya aku memang belum siapa-siapa. Tapi, dengan berani mempertimbangkan apa value yang bisa aku dapat dari pekerjaan itu nanti adalah proses berpikir yang perlu diapresiasi. Dan ketakutan lain tentang 'bebas finansial' yang selalu membayangi tetap akan dicarikan jalan keluarnya tanpa menciderai diri sendiri. Semoga.
Bahwa sekali lagi, hidup tidak selalu seperti apa yang kita idam-idamkan. Kesempatan yang datang boleh jadi adalah skenario Tuhan untuk menjadikan kita ‘seseorang’ ke depannya nanti sesuai value masing-masing yang ingin dicapai. Mungkin satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa selama ada lingkungan yang berpotensi membawa pada kebaikan maka tidak seharusnya itu ditolak. Dan mungkin berjuang memang tidak pernah sesederhana itu.
(Tulisan ini masih akan berlanjut dengan pembelajaran lain yang terjadi di hari Selasa, 9 Mei 2017 setelah Bogor hujan deras)
Maybe human nature when their existence questioned or simply because disturbted to make a move shown an existence. Not trying to counting people who actually cool or quashi-cool but you wanna one of them. There is so much possibility how people can be that awesome. One thing important I think talked about 'diligent'. Hard work or genius both talked about diligent. Like, it's a verb main key for people who wanna build their existance. Hard work and diligent of course in straight way. Let's say about genius. Genius won't appeared if they stay silent. If they doesn't speak up or make something phenomenal though effortless. And that 'effortless' can't sustainability when they stopping there. Nonetheless, it would be fertilized with diligence. In my new adjective, I found about diligent delliger which one in urban dictionary means some one who is hard worker and can multi task. Since past, I wanna standing front and grab that adjective exceed thousand others. Diligent, for me will take you everywhere. Get a life with pretentious air. Adjective that to this day don't want yet to stay in my day. This, maybe vent of me. And an attempt to remind myself that this adjective can be cultivated to reach. Not just a wished and shouldn't just a wished. Like, if that 'dilligent delliger' still in adjective i wished for, I am not gonna everywhere. And maybe you too.
Learn more about how our community is sharing their mental health journeys and supporting one another. #hereforyou
“When I was younger, I was very deeply involved with an eating disorder. I was suffering from anorexia, and I didn’t know how to get myself out of it,” says actress Troian Bellisario (@sleepinthegardn). “I was a privileged young woman. I was going to a good school. I was doing well. I couldn’t understand why I was having such a hard time, emotionally and physically, why I was having such a hard time feeding and nourishing myself. My teachers, friends and family approached me with their concern, and I went to see a doctor who sat across from me and said, ‘You have a disease. This isn’t a disease most people can see from the outside, but I’m telling you right now, you are suffering from something that is just as serious and just as life-threatening as a physical ailment.’
That conversation changed my life. From that moment on, I’ve known I am struggling with something, and some days, it’s much easier to handle than others. This is why I’m such a great supporter of these kinds of conversations and of the mental health community, because I consider myself to be a card-carrying member.”
I don't do reseacrh or just simply search for something destructives. Cause my life so much full of something that i doesn't know yet. Too precious to taking care of people thingking mostly in negativity verbs. And I won't let my self to refused all things about thingking of that. Just say that that my tips to control my self never thingking back negativity. Too much transformation in people life. Everything heck happen to our life, just make sure that you taking full of responsibility. And no one doesn't know and can't rate you low. So much hatred happen lately because of social standard that you live in. People just forget that you have your own life to live. In order you doesn't disturb and disadvantegeous people in personal tho, you good and fine. Mostly i'm thingking why people can't live with purity constructive themselves and respect for the others? Like who are you rightful to judge someone you doesn't know? Even you're people closed, you not justified to do that. One thing you can do is give them constructive suggestions. Not suddenly judging and spread hatred. People, still human have heart inside. It can hurted by just one word. Like stop being judge people especially in their personal life. If you so much care, ask them and then give them some suggestion. If you stop or continuing your judging, you get nothing except an other harted. Maybe quote from Pramoedya can related with this situation, "Be fair since your mind."
Terakhir aku berdiskusi dengan cara yang layak, ehm, sebutlah otentik adalah pembicaraan panjang tentang realitas yang sedang atau dari dulu dihadapi oleh penduduk masa kini. Pada kesimpulan yang sama akan timbul sebuah kesimpulan, "Siapa kamu yang dengan percaya diri mengatakan bisa merubah orang lain?" Dan pada kesimpulan yang lain datang sebuah pernyataan, "Kalau kamu ada di posisi ingin merubah orang lain, maka kamu sesungguhnya bukan siapa-siapa." Mungkin perlu ditambahkan di belakangnya, kecuali orang yang sedang berhalusinasi.
We’re no longer living the life of thievery our stolen glances subjected us to. If I wrap the present around myself tightly enough, I can pretend that you’ve never existed, that the shaky and yet so honest idea of us was never conceived.
I’ve erased my past to eradicate you (via multa--paucis)
So much alike and distance can't be broken
We had a silent connection, unnoticed by most. We seemed oblivious to each other, but the magnetic pull between us existed. What perfect strangers we make now. We pulled the magnets far enough apart to barely feel their tug.
it’s almost as if we’ve never spoken (via multa--paucis)
What the frickin distance and hateful akwardness
Tidak ada sudut yang terjamah dan membentuk sebuah derajat dari hiruk pikuk yang senantiasa menjadi rutinitas primer di sore hari. Tidak pula kota yang bahkan sampai hitungan yang tak terhitung lagi mendekap erat dan meminta detak yang sama. Seolah tak perlu ada mata lain yang memandang, otak lain yang memproses informasi dan mulut-mulut yang membicarakan. Hanya ada aku dan kota persinggahanku yang masih kupertanyakan arti sebuah kenyamanan pada tiang menjalar berwarna hitam yang semrawut menghalangi pandang pada langit biru. Aku bertanya dengan menciptakan hening karena seperti keanehanku yang biasanya, yang tak mau ada umat lain yang tahu. Aku ingin menciptakan hening hanya sendiri untuk berdialog melalui mantra hujan yang menjelma elegi, meskipun tidak selalu, dan menjadikan aku semakin melankolis ingin memaknai setiap sudut yang mulai tamak ingin kujamah. Aku ingin menciptakan hening. Mungkin aku harus mulai mengheningkan cipta.
Aku sedang senang mendengarkan podcast akhir-akhir ini. Sempat terpikir untuk membuat konten yang sama karena so for terlalu banyak suara-suara yang tertahan dari orang-orang yang memiliki pikiran terbuka dan visioner. Belakangan, kembali banyak hal-hal tidak penting yang justru menjadi topik yang diangkat berulang-ulang. Salah satu yang menarik perhatianku dari pembicaraan di salah satu podcast adalah tentang keegoisan berkarya. Man, emang ya manusia di mana-mana itu selalu diikuti sama egosentrisnya. Mau lo pengikut setia Hierarki Maslow atau penolak habis-habisan karena hidup tidak cuma tentang afeksi. Terserahlah. Intinya bukan itu, intinya di sini adalah bahwa dalam menciptakan sebuah karya perlu diikuti dengan keegoisan bahwa value yang akan lo sampaikan itu memang harus tersampaikan. Berbagai motif orang yang menjadi kreator-kreator konten positif (negatif juga) atau cuma sekedar penyedia layanan untuk memberikan sebutlah pencerahan. Dari mereka-mereka itu harus memegang egoisme. Mungkin maksudnya adalah idealisme? Bukan, bukan. Kreator mungkin tidak perlu melibatkan terlalu jauh kehidupan pribadinya dalam karya yang dia buat (secara idealisme adalah representasi general sekaligus privat dari diri seseorang, menurutku). Dia bisa menyinkronisasi dengan apapun, entah itu common knowledge atau hal-hal logis yang sebenarnya cukup mudah tetapi orang perlu bertanya dulu untuk disadarkan. Dan kenapa mereka perlu egois adalah masalah teritori dan pertanggungjawaban. Science yang menyediakan placeholder untuk orang mau menerima atau tidak mungkin tidak sebanding jika dikomparasi dengan konten yang coba disampaikan oleh kreator tersebut. Tetapi, membicarakan diri manusia yang terbatas atas ruang dan waktu maka seseorang (as a creator) perlu menjadi egois untuk mempertahankan value yang coba dia sampaikan. Seorang kreator tidak seharusnya goyah akan hal-hal yang tidak prinsipil. Kalau kedepannya ada perubahan dalam konten yang disajikan pun, itu hanya akan dinilai bukan sebuah inkonsistensi tapi orang tersebut berkembang. Aku rasa semua orang punya prinsip (terlebih yang menamakan dirinya adalah seorang kreator) dan perlunya bersikap egois adalah karena dia membawa pesan khusus yang berharap nantinya akan dijalankan oleh orang yang menikmati kontennya. Terlepas dari baik dan buruk penerimaan orang lain, seorang kreator juga membawa sebuah tanggungjawab dari dampak yang mungkin ditimbulkan. Oleh karenanya dengan sikap egois itu banyak feedback juga yang akan dia terima. Boundaries dia akan semakin terlihat bahwa oh ini impact gue dari konten yang gue sajikan. Dan egois juga berkaitan dengan fabricated bahwa pikiran yang dia punya harus mendunia. Egois membawa lo tetap dalam jalur yang sesuai. Bahwa pikiran lo itu menarik dan dunia perlu tahu. Dan itu adalah hasil yang positif dari sebuah egoisme.
Manusia memang pandai bermelankoli Menciptakan dramatisasi tentang betapa rupa hidupnya yang boleh jadi bangga akan sebuah ketepurukan lalu kebangkitan Hipokritis dan suka berteori dengan egosentris yang meletup
Ada masanya atau memang akan sering terjadi bahwa manusia bergelimpang kecerdasan tapi tak tercerdaskan Filsafat dianggap dewa dan tak jarang dinafikan padahal ia adalah adhesi dari semua elemen yang dijalani Kalau ia menjadi agung, lalu bukankah tindak seringnya tak akan diimbangi dengan akal? Pantas saja.
Tidak hanya nawalapradata yang harus dibalut oleh filsafat kelas tinggi Bahkan manusia yang mengenal sistem kasta pada kondisi terendah pun bukan kah bijaknya membawa nafas filsafat untuk menjaga harga dirinya? Tepian ilmu tidak hanya dari Teori René Descartes Cukup akal disertai pikir yang dianugerahkan Tuhan untuk menyertai kebijakan
Bukan kah itu yang selalu diagungkan manusia sejak penciptaan pertama?
All the crazy things you do keep running trough my mind I wish i could control the way i feel I’ve been overthingking this for too many nights I never thought the love would be so real
There’s something in your eyes that i believe And every time you smile it makes it hard to breathe There’s something ‘bout your loving that’s enchanthing me It’s written in the stars that we will always be
And I can’t get over you And I can’t get over you And I can’t get over you And I can’t get over you
¤
Not wanna say this is too relate. I just curious about how to find the way out the frickin annoying mind. There's four rows after the crous that i don't write. I feel that bit bullshit and won't be relate at all (Oh... let's just say i forgot). In spite of that, I really enjoy the vibe of this song. Majestic Casual ftw!
I am not sunshine and peace like you. I am thorns and lightning and brewing rage. I am the lost cause in trailing thoughts, battles abandoned, apologies that never make it past the lips. But I am powerful. I am silently, painfully, gloriously powerful, and I have exceeded glowing sunlight and warm touches by sheer force, nothing but will. I will never love you again. You are a whisper of the past that died in the wind. You are a proclamation of peace silenced by growls.
I am beyond you in every way. You, a moment of weakness in a vicious ascent towards a frenetic future (via multa--paucis)